Read more: Cara Membuat Teks Berjalan di Tab dan Navbar Atas | Mas Bugie [dot] com http://www.masbugie.com/2010/04/cara-membuat-teks-berjalan-di-tab-dan.html#ixzz2Kbjd7mQM
UKM GEMA Politeknik Negeri Balikpapan

Sabtu, 23 Februari 2013

ITU Indonesia


“Sudah lama aku dengar dan membaca, ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Kata dongeng itu lagi, negeri itu memashurkan, menjunjung tinggi dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongeng tersebut dalam kenyataan”.
(dikutip, Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah)

Ada cerita menarik untuk semua sahabat. Original, natural lepas dari intervensi kecuali keinginan untuk sudi berbagi. Berbagi pasti menarik, bisa lebih mengikat satu sama lain. Erat merawat tak terjegal bahkan oleh belahan jarak. Tapi, entahlah bisakah itu jadi barometer memotretnya.

Lepaskan jerat itu lalu mari memulai dongeng nyata ini dengan sejenak ber-refleksi. Mengapa ?, karena perjuangan yang gagal dihayati sesungguhnya tak layak dilanjuti. Refleksi agar identitas diri hidup dalam perjuangan untuk kian akumulatif, kian baik, kian berkembang dan tentunya kian berkualitas. Siapa yang berkualitas,? Tentu milik siapa yang menjadi pemenang menghidupkan relaksasi tersebut bukan sekilas tangis atau makian semata. Tapi mampu menyeretnya keranah realisasi pascanya. Mudah Bukan,?..

*   *   *   *   *   *   *   *   *

Di sekolah dasar, menengah hingga tingkat seterusnya, kita sering didongengkan oleh guru-guru tentang kehebatan nenek moyang. Di rumah pun demikian, tak jarang orang tua atau nenek bercerita bagaimana moyang terdahulu disebut-sebut sebagai pelaut tangguh. Bahkan ketangguhan-ketangguhan lain yang masih kita dengar di bait-bait lagu mengabadikannya sampai sekarang. Apa yang kita dengar itu benar dan berangkat dari itu, mari bersama berselancar di sejarah lampau untuk mengatakan dengan tegas bahwa,

Andai nenek moyang kita lepas dari pengetahuan?, mengapa Empu Tantular menulis dan membukukan kitab tentang agama, etika, puisi, ketatanegaraan, strategi perang dan kebudayaan. Di mana eropa bahkan baru memulai mengenal tulisan.

Andai nenek moyang kita berperadaban mundur ?, mengapa meninggalkan candi Prambanan dan Borobudur di mana  eropa saja kala itu belum berprasasti.

Andai nenek moyang kita tak kuat ?, mengapa dapat mengalahkan Kubilai Khan yang saat itu telah menumpas Eropa serta Timur Tengah. Bahkan kekalahan pertama bangsa Mongol dalam ekspansi menguasai dunia.

Andai pula nenek moyang kita tak tangguh?, lalu mengapa pula berhasil menundukkan lautan yang begitu luas hingga sampai menaklukan Madagaskar dan lewat semboyan seorang patih Gajah Mada sebagian besar kerajaan Nusantara dipeluknya.

Tentu masih banyak pertanyaan lain yang akan menelurkan mengapa-mengapa yang lain pula hingga kemudian, Mengapa sejarah dan bahkan dunia mengamini bahwa nenek moyang kita dahulu memiliki pengetahuan tinggi, peradaban maju, kuat dan tangguh di kolong langit ini.?

Sementara berbanding terbalik dengan kita yang secara nyata terbuahi akulturasi darah itu tak pede untuk ikut mengamini testimoni tersebut. Bahkan negara tetangga saja seperti Malaysia yang dahulu ingin diganyang oleh Soekarno, kini sudah berkali-kali menyenggol teritori laut dan menganiaya TKI Indonesia. Apa yang negara ini lakukan,?. Begitupula Arab Saudi yang dahulu bersama negara-negara timur tengah kooperatif menyatakan dukungan Indonesia sebagai negara berdaulat dan merdeka, kini berbalik menginjak martabat bangsa ini dengan memancung salah satu saudari kita tanpa sepengetahuan Negara pemasoknya pula. Apa yang pemerintah kita lakukan,?. Untuk kesekian kalinya Negara ini hanya mampu tunduk dalam negosiasi bertele yang super menyebalkan.

Masih ingat perwakilan rakyat kita (DPR RI) yang sempat dicekal agar tak menghamburkan uang hanya untuk studi banding ke Yunani belajar etika. Kenapa tidak berstudi pada Kerajaan Kalingga abad ke 7 yang dipimpin oleh Raja Sima, ratu yang menjadi raja menggantikan suaminya. Raja Sima pernah disegani etika budayanya hingga imperium asing pun sulit masuk karena ditantang mengalahkan budaya dari etika Kalingga terlebih dahulu.

Menjadi pemimpin negeri ini misalnya, apakah selalu barat referensinya. Padahal ada kerajaan Sunda yang punya ritual ketika anak raja mulai cukup usia menggantikan ayahnya, sang anak terlebih dahulu mengembara selama setahun mengelilingi kampung tanpa identitas kerajaan. Menjadi rakyat biasa berbaur lalu belajar memahami utuh kondisi dan kebutuhan rakyatnya. Dilewati semua rintangan hingga akhirnya arif dalam memimpin rakyatnya dikemudian.

Negara ini juga kerap kecolongan menjaga batas laut dimana kekayaan limpah ruah itu dieksploitasi negara-negara lain. Berstudi bandinglah pada Kerajaan Sriwijaya yang menjadikan laut sebagai basis pertahanan dan kekuatan 500 tahun lamanya, Atau Kerajaan Gowa Tallo yang juga terkenal dengan ekspansi laut di Pulau Sulawesi itu.

Semua kejayaan itu ada di sini, Nusantara (pernah disebut Dipantara oleh Tan malaka) yang kemudian menjadi Indonesia. Maka memahami lekuk budaya Nusantara teramatlah penting bukan saja sebagai transfer pengetahuan semata, namun tengokan masa lalu itu adalah transfusi darah mencuci bersih keterputusan 350 tahun yang pernah dibuat oleh Belanda kala menjajah. 350 tahun yang berarti 7 generasi (anda punya anak, anak anda punya anak lagi, dan seterusnya) rakyat ini dijangkit wabah buta huruf akibat tak diperkenalkan pendidikan karena khawatir pengenalan itu berakibat kembalinya ingatan terhadap nenek moyangnya.

Kekhawatiran itu terbukti ketika generasi ke 7 (Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Aidit dan lain2) oleh Belanda melalui politik Etis membuka kran pendidikan dan pengetahuan menjadi blunder menelurkan semangat nasionalisme di Sumpah Pemuda. Penyatuan dari kebudayaan-kebudayaan yang beragam di bawah panji Indonesia. Terus merangkak hingga merebut kemerdekaan bangsanya.

350 tahun menciptakan satu generasi sebagai hujan menyirami kemarau enam generasi dibelakangnya. Siraman itu menghapus kebodohan, penindasan, inferior untuk disemai sebagai bangsa yang berjati diri, berdaulat, bermartabat warisan Nusantara.

Generasi penutup yang kemudian disebut Foundhing Father Indonesia. Melahirkan generasi baru yang kini yang kini berjalan diusia 66 tahun. Usia yang baru menelurkan dua generasi dari Soeharto, Gusdur, Megawati, SBY dan seangkatan itu padai generasi pertama dan kita (50 tahun kebawah) di generasi keduanya. Jika demikian seiring carut marutnya sistem pemerintahan ini, tentu bukan mustahil jika akan ada generasi bakal menjadi hujan kembali melenyapkan kemarau generasi. Karena sejarah pernah membuktikan.

Dari pengembaraan itu, entah apa yang menyeretku untuk menutup malam ini dengan mengatakan bahwa kelak di generasi anak-pinak yang entah keturunan keberapa, Negeri dongeng yang dimaksud Pramoedya Ananta Toer akan dijawab. Bahwa Sebenarnya Negeri itu ada di “INDONESIA”. (adhipmii)

(Olah mimpi sebuah rezim di 7 kali ulang Tahunnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar