Malam berkelana berbekal gelap tanpa taburan bintang yang biasa
mendandani angkasa raya. Seperti bintang, angin pun tak ingin
diintervensi untuk turut aksi. Memilih diam dipersembunyiannya entah di
mana. Hanya awan menggantung bergulung-gulung tebal memberi contekan
bahwa akan ada beban ditumpah melalui guyur menghantam apa yang
menghadang.
Malam ini begitu spesial, khusus dan terkhusus
dari ratusan malam lain. Mendorong hanyut menghayati gempita dari riak
empat mata angin. Ada lantunan takbir yang terus berkumandang memuji
kebesaran pemilik Nama. Mengudara menerobos memasuki gendang telinga.
Dari masjid-masjid, langgar lalu menjalar ke rumah-rumah serta
jalan-jalan raya. Di mana individu tertulari copy paste nada dari awal
suara bermula. Berulang-ulang lepas dari angka dan waktu mengilhami apa
yang didengungi.
Yah begitulah persepsi banyak orang, apa
yang keluar dari kerongkongan dipantulkan oleh lidah itu luapan rasa
suka cita secara massal. Pasalnya sejak matahari ditarik mundur dari
sinarnya. Jutaan umat muslim lagi menabuh genderang penutup perang
ditandai ketika kumandang adzan maghrib itu.
Peperangan
terkunci dari luar setelah terlewati sebulan terakhir menumpas hawa
nafsu melalui lapar dan dahaga. Peperangan yang dari banyak kampanye
lisan maupun tulisan, dari elektronik dan cetak diklaim membawa pulang
sebuah kemenangan. Kemenangan dari peperangan agung yang lahir dari
ksatria-ksatria yang turut pertarungan menjalankan Titah penguasa jagat
raya. Kemenangan kemudian menjemput pagi dengan perayaan ritual
spritual dua rakaat. Kemenangan terabadikan ketika telapak tangan
bersegama dengan tangan lain. Begitu seterusnya beberapa hari sembari
mengumbar “maaf” akibat kesalahan-kesalahan yang terlakoni. Saat itulah
pen-Titah mengupah perang dengan memerintah malaikat Atid mensobek
buku amal antagonis manusia yang lelah dicatat. Suci tak berdosa
terhitung mundur sejak menjadi manusia.
Kemenangan...
Mengajak lelaki muda itu mondar mandir dalam hayal menterjemahkan makna
yang punya jutaan arti agar ditafsirkan dengan ide yang merdeka.
Kemenangan yang membuat iblis, syaitan dan segala turunannya murka
menjadi terdakwa sebagai pihak yang dikalahkan. Terkhayali sembari
merebahkan diri di kursi beranda rumahnya. Sesantai mungkin menjinakkan
badan agar pengembaraan ide begitu leluasa merangkul kata yang
dimaksud. Ditengah gerimis hujan berubah garang terjun bebas dari awan.
Berperang dengan caranya untuk menjajah waktu agar patuh menuruti
geseran malam.
Namun, di tengah keseriusan otak yang
diperas. Menculik semua file berhubungan dengan simbolisasi kemenangan,
tiba-tiba dibuyarkan tanpa menepi jawaban. Semua bubar oleh suara yang
muncul tapi tak memberi ijin dijamah penglihatannya.
“Benar kalian menang”, ucapnya yang mulai jelas ditelinga namun gagal dikelopak mata.
“Siapa
kau”, lawan pemuda sedikit gusar Suara tak dikayuh jawaban membuat
kosentrasi manuver memburu empunya. Indera yang paling diandalkannya
diarahkan ke segala arah. Hasilnya tetap nihil melapor kesaluran akal
lalu menterjemahkan apa-apa yang bisa diborgol.
“Tiada
sesiapa di sini” celetuk bhatin. Karena di depannya hanya sebaris pot
diinjak tanaman membelakangi pagar telanjang tanpa cat. Dibibir teras
pun hanya berserakan sendal bermerk murah berpasangan-pasang itu. Di
kirinya sekali terparkir dua motor dengan leher terkunci agar tak
distir ke kanan maupun kiri.
“Lalu dari mana asal suara
itu.” Gelisahnya lagi karena tak mampu menindas bulu kuduk yang kini
satu persatu mengadu. Menukar dingin sergapan hujan dengan butiran
keringat ketakutan.
“Kemenangan,,, berperang membentengi lambung kosong selama sebulan?,..”
“Sementara
di luar sana jutaan saudaranya tak bisa keluar dari jajahan lapar
berbilang bulan?.” Todong suara ghaib tak juga sudi menunjukkan wujud
seperti dikehendaki.
“Kalian merayakan kemenangan perang
membawa pulang pahala bergunung-gunung dengan ibadah dari wajib, sunnah
hingga tidur berpahala. Bahkan setelah bersalam-salaman menjadi seperti
bayi yang ditendang keluar dari rahim ibu. Suci, bersih dari noda
dosa.” Usik suara itu lagi
“Seperti bayi,. Pantas tak bisa
berbuat apa-apa. Suci tanpa dosa menjadi bekal untuk semakin menggilai
dosa itu sendiri. Begitu seterusnya.” Sindirnya yang terus melaju
menghujam telinga tanpa menunggu protes linglung tak melihat sesiapa.
“Lapar,
ibadah-ibadah, menganiaya nafsu sebulan lalu kemudian bermaafan
tercukupi syarat sebagai kemenangan melakukan peperangan dahsyat. Hanya
karena agamamu membingkai bulan itu pilihan, suci lagi penuh ampunan..”
“Huft..
hebat sekali, padahal tak mampu mengubah apapun, kalian tetap
beradegan jahat, menipu, mencuri dan memelihara kemunafikan seperti
biasanya. Bahkan pasca sehari perayaan itu, jamaah masjid hanya digarda
terdepan menyisakan segelintir di shaff kedua..” Bunyi suara
dipersembunyiannya.
Perkataan itu membuat si pemuda
membuka resleting pikirannya agar bisa mengeluarkan pengalaman
terdahulu, sembari kepalanya naik turun pelan mengiyakan. Karena dari
pengalamannnya berputar dokumen membenarkan kenyataan. Dimana suatu
ketika pasca merayakan kemenangan semacam ini, tempat-tempat ibadah
kembali sepi dari pengunjungnya.
“Kau hanya mengomel.” Bantah si lelaki seakan mengingkari anggukannya.
“Apa yang ingin kau utarakan selain hujatan?!!.” Lanjutnya menatap apapun tanpa membekaskan kefokusan.
Keghaiban
itu menampakan suaranya lagi. Bertele namun mulai menuntun buruannya
dari kegelisahan yang tak kunjung jera seperti hujan yang tak juga
reda.
“Tak ada peperangan kawan,. Apalagi kemenangan.” Urainya lagi dengan nada sedikit ditekan
“Berpuasa,
menahan lapar haus, melaksanakan beragam shalat wajib dan sunnah,
tadarusan, bahkan berbohong pun dicekal. Kenapa?, karena semua orang
seagamamu berfikiran dan melaksanakan hal yang sama pula. Agamamu
memfasilitasi hingga secara umum penganutnya mengamini. merasa berdosa
tak puasa karena sekelilingnya juga berfikir sama, tidak enak berbohong
karena sekelilingnya juga demikian kawan. Semua hal secara umum ada
dibenak penganutmu, Seragam dan biasa saja. Lantas dimana Peperangan dan
kemenangan yang kau rayakan sedemikian megah bila dibandingkan dengan
keadaan di luar dari bingkai agamamu yang tak jua berubah..” Ungkapnya
lebih dalam
“Jadi maksudmu agamaku berbohong?!”
“Kuakui
aku lagi mencari arti kemenangan ini. Tapi kau menyeretku agar
mengamini dalil-dalil itu palsu... Seolah ada dogma agama.? Begitu
maksudmu.!!” Serang Pemuda yang tak terima pendengarannya dihakimi.
Mengingatkan dirinya pada Mark tokoh komunisme yang menghakimi agama
dengan mengatakan bahwa “Agama itu candu” karena membius kaum buruh
untuk sabar dari ketertindasannya.
“Lalu apa yang hari ini kami rayakan?.” Ucap pemuda yang terus memburu dengan pertanyaan.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar